Rabu, 14 Januari 2009


Oleh: Ummi Khosyi’ah

Seringkali kita berfikir jika ada hal yang kurang etis dilihat oleh mata, pasti responnya negatif. Namun apa jadinya jika hal yang kurang etis tadi, disertai dengan tradisi atau budaya yang telah melekat di kalangan masyarakat? Sungguh berat rasanya untuk seketika menjustice hal semacam itu. Berat bukan berarti menghindari sepenuhnya atau acuh tak acuh akan hal demikian. Namun menilik lebih dulu akan adanya ruang-ruang konkrit pada urgensi nilai-nilai yang ada di dalam hal tersebut.

Kota Pontianak yang dikenal dengan tugu khatulistiwanya ini memiliki segudang tradisi dan budaya yang melekat di tengah masyarakatnya. Akan tetapi dari sekian banyak tradisi dan budaya yang dimiliki oleh Pontianak, ada tradisi kecil yang selalu kita lihat dan kita pandang dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ini sebenarnya telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat yang khususnya berada di pinggir Sungai Kapuas atau pinggir sungai-sungai lainnya yang ada di Pontianak. Karena kebiasaannya tersebut, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai suatu hal yang biasa dan tidak berarti. Namun tunggu dulu, suatu kebiasaan tersebut yang tadinya biasa saja akan menjadi suatu tradisi yang banyak memunculkan argumen pokok di antaranya pada etika, moral, dan nilai budaya di masyarakat. Pasalnya, seperti kita ketahui bersama bahwa masyarakat yang berada di pinggir sungai, khususnya jika kita lihat di pinggir Sungai Kapuas, otomatis masyarakat yang mandi atau membersihkan anggota tubuhnya hanya bertutupkan sehelai handuk atau sampir penutup badan. Otomatis pula banyak sekali mata-mata yang memandang dan paling tidak melihat sepintas masyarakat yang mandi di tepi sungai.

Bila dilihat sepintas, perilaku seperti itu memang tidak patut untuk dilakukan, karena hal itu merupakan bentuk pengexposean anggota tubuh walaupun dalam skala rendah artinya tidak terlalu mengexpose secara terang-terangan anggota tubuh yang vital.

Secara jelas pula jika dipandang dari segi etika tampaknya perilaku tersebut dinilai kurang baik. Hal ini dikarenakan prosedur pengexposean aurat hanya boleh dipertontonkan kepada suami atau muhrimnya sendiri. pernyataan ini tidak mengada-ada karena Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Katakanlah kepada wanita-wanita beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya'." (An-Nuur: 31).

Dari pernyataan ayat di atas sudah jelas jika siapa pun itu orangnya, entah itu wanita, gadis muda, gadis tua, dan laki-laki tidak diperkenankan bagi mereka untuk membuka aurat walau sedikitpun, karena hal tersebut merupakan etika yang harus dijaga.

Selanjutnya moral. Berbicara mengenai moral pasti ada kaitannya dengan etika. Moral berawal dari kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau ta etha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. (E.Y. Kanter 2001:2)

Kata yang agak dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika (bahasa Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat mengenai baik-buruk suatu perbuatan. Namun demikian moral tidak sama dengan etika. Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional, kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang untuk memahami mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Dalam artian ini, etika dapat disebut filsafat moral (E.Y. Kanter 2002:2).

Berlanjut mengenai perilaku yang disebutkan di awal. Jika tadi secara etika religi orang yang mandi di sungai Kapuas itu melanggar rambu-rambu ayat Al-Qur’an, namun jika kita bentangkan perilaku ini pada aspek moral yang definisinya telah disebutkan di atas, maka pernyataannya akan berbanding sedikit. Hal ini disebabkan karena tradisi, budaya dan adat istiadat paling dominan melekat dalam perilaku tersebut.

Seperti kita pahami bersama bahwa kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Selain itu menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Jelas rasanya jika masalah masyarakat yang mandi di tepi sungai dengan hanya bertutupkan sehelai handuk atau sampir penutup badan setidaknya memiliki nilai kebudayaan yang telah turun temurun hingga kini. Kebudayaan ini patut dipertahankan, karena hal ini berlandaskan akan adanya urgensi dari makna kebudayaan itu sendiri yang berarti untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Faktanya, tidak mungkin kan, kalau orang mandi memakai baju pesta, atau sebaliknya tidak mungkin juga kalau orang mandi di tepi sungai tanpa memakai sehelai kain pun untuk menutupi tubuhnya.

0 Comments:

Post a Comment