Rabu, 14 Januari 2009

ANGIN

Oleh: Az Zahra

Sang surya bersinar terang, angin berhembus nakal, debu-debu berterbangan menembus bulu halus lubang hidungku. Wajah hitam nan lusuh didepanku menerawang, mata tajamnya menembus hatiku. Bibir birunya yang kehitam–hitaman membulat, mencibirku. Aku diam bergeming. Ku tatap dadaku dalam. Tertunduk.

“Coba kau rasakan Angin ini Ananda!“ bagai sebuah magnet suara beratnya membuat kepalaku terangkat.

“Coba kau hirup ia pelan, sampai ia membuka matamu!” perintahnya

Aku menirukan gayanya, merentangkan kedua tanganku, menghadapkan badanku yang kurus kearah matahari, pelanku pejamkan kedua mataku. Debu-debu liar yang sedari tadi ku hindari, kini menyerbuku. Badanku bergoyang ke kanan. Angin membawaku kearah utara. Tidak, tapi ke selatan. Ia membelai wajahku jua rambut halusku yang bersembunyi rapi di balik jilbab lusuhku. Seolah ia ingin melindungi wajahku dari panas matahari. Ia memaksa kedua mataku terbuka. Walau aku menahan dengan seluruh tenaga yang aku miliki….

Bruuuuk

“Aaa …”kedua mataku terbuka.

Lelaki setengah baya itu tersungkur. Kutatap lekat matanya, mata teduhnya berkaca. Ia berair. Menangis. Aku tidak pernah melihatnya menangis. Ia selalu tegar di depanku. Ia memelukku. Bahunya bergetar. Aku semakin bingung.

“Maafkan Bapak Ananda… Bapak tidak berhasil….”katanya sesenggukan.

Aku tidak mampu memahami ucapannya.

“Bapak tidak berhasil mendidikmu menjadi anak yang kuat, angin ini pun tak mampu kita hadang, ia membuat kita terpuruk Ananda…” Bapak terisak pilu.

“Ia membawa hidup kita sesukanya, kekiri lantas menepi, dan kita pun meniti jalan itu Ananda, kita terjatuh di tengah keramaian, terinjak di antara bebatuan, terpuruk tanpa mampu tuk melawannya“ Bapak menatap tajam mataku. Melepaskan aku dari pelukannya.

Aku terdiam. Tanpa mampu mengucapkan sepatah kata. Ia berdiri. Menutup wajahnya dengan tangan kasarnya. Ia berteriak, mengamuk, berguling ke kanan dan kekiri. Ku pegang bahunya yang kekar. Bahu yang tak henti memikul beras di Bulog sejak subuh hingga petang, demi selembar Rp 2000, demi aku, yang sisanya Bapak belikan Bentol, teman setianya ketika selesai makan. Bibirnya mengutuk.

Oh jangan. Jeritku dalam hati

Aku menutup mulutnya tanpa peduli lagi, walau ini tidak pernah aku lakukan.

“Ini tidak adil…tidak adil…Ananda jangan tinggalkan Bapak…Ananda ingin lagi pergi kesana? Ke tempat itu? Oh Ananda…tahukah Ananda disanalah angin membawa kita, membawa Bapak dan Bundamu. Mengambil kenangan indah itu Ananda…” suaranya meradang.

Aku menggeleng keras.

“Bukan itu, Pak. Aku hanya ingin kita bisa memperbaiki hidup kita. Membahagiakan Bapak. Aku mau derajat kita bisa terangkat dengan sekolah. Biar kita tidak punya apapun Pak, tapi kita punya tekad Pak. Bapak tidak benar mengatakan tidak mendidik aku menjadi anak yang kuat, aku kuat Pak, aku menjadi kuat karena banyaknya orang yang mengejekku, aku kuat sejak Bapak menyuruhku memungut beras di Bulog, dan memilihnya di antara pasir-pasir itu, aku kuat sejak aku menjadi ibu di gubuk reot kita, aku memasak untuk Bapak dan menjaga asa agar ia tetap tumbuh didalam hatiku. Aku juga tak ingin meninggalkan Bapak seorang diri, tetapi aku harus pergi, aku sudah berjanji kepada diriku bahwa aku akan mendirikan bangunan di dalam jiwa Bapak. Aku mohon izinkan aku”. Aku menangis

“Ananda mengirim surat kepada Bunda Eva, tahukah Ananda ia sudah memilih kehidupannya sendiri, ia tidak memperdulikan kita Ananda” matanya memerah.

“Tetapi Aku yakin ia menerimaku, ia adalah bundaku. Ia membalas suratku, aku disuruhnya datang ke kota itu.

“Begitu rindukah Ananda padanya?” Bapak menatapku, aku menunduk, aku takut ia tahu, betapa aku ingin kesana. Tetapi aku tak mampu menahan kepala ini, aku mengangguk walau pelan.

“Ananda tidak sayang Bapak?” Bapak memegang kepalaku, ia memaksaku menatap wajahnya. Aku tak bisa berbohong.

“Ananda sayang Bapak, tetapi Ananda merindukan bunda? “ Bapak bertanya.

“Heh…eh.” Aku mengangguk, terisak.

“Aku tidak pernah melihatnya pak…aku yakin ia mau menolong kita Pak, aku yakin ia pasti mau menyekolahkan putrinya, aku hanya minta ia menyekolahkan aku, rasa cinta dan rindu ini mungkin aku berikan padanya, namun angin sayang yang tulus tentu aku titipkan padamu. Aku ingin melihat Bapak tersenyum, karena jarang aku melihatnya diwajah Bapak, tapi aku tahu Bapak begitu menyayangiku. Aku masih bisa merasakannya Pak, dimalam yang dingin Bapak menyelimutiku, dengan selimut satu-satunya kepunyaan kita, Bapak juga memberiku sekotak angin cinta yang aku sembunyikan dibalik tirai kemiskinan kita. Aku sadar aku tidak bisa menjaganya tetapi aku akan menyimpannya dihatiku agar tak hilang.”

“Jika bertemu bunda adalah impian Ananda, Bapak tidak bisa menghadang, anginnya terlalu kuat, Bapak sudah tua dan Bentol itu mulai menampakkan durinya di paru-paru Bapak, silahkan jika Ananda ingin”air mata Bapak kering, melawan matahari sore, wajahnya tambah gosong dengan keringat yang merongrong. Aku menggeleng lagi.

“Bapak aku hanya ingin sekolah, aku hanya ingin mewujudkan asa yang aku jaga selama ini. Aku tahu hal itu akan melukaimu, tetapi aku yakin aku pasti bisa menggapainya Pak, menggapai harapan.”

Bapak terbatuk, keringat dingin membasahi baju kaosnya, wajahnya berubah menjadi merah pekat. Ia memegang perutnya, kini wajah itu pucat, aku terperangah, aku khawatir. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi aku yakin pastilah ini dikarenakan Bentol itu. Bentol yang sudah dihisap Bapak selama 20 tahun. Aku panik, ku pegang ia, aku berusaha memapahnya. Aku tak mampu, karena aku adalah anak kecil yang kurus, yang menjadi putri kecil dan peri di malam-malamnya. Bapak terbaring lemas, matanya terpejam, ku goncang-goncang badannya, tetapi ia tidak bergerak. Ku usap air mata ini. Aku tak kuasa,

Ya Tuhan tolonglah Bapak, pintaku. Tetapi aku harus berusaha.

Aku harus mencari seseorang, mencari tetangga kami. Mbak Sum, ya penjual jamu gendong itu pasti kini telah kembali dari berkeliling, aku tahu itu karena ia secara rutin memberikan jamu sisanya kepada kami. Aku berlari melewati ilalang tajam di belakang gudang Bulog kota Arwana, kulewati kebun Aloevera, aku tak perduli lagi.

Eh…eh…..eh…

Mbak Sum Kaget, wajah setengah bayanya panik, ia berusaha menebak arti setiap gerakanku.

“Ada apa Rin? Tanya Mbak Sum.

”O, yo kamu tenang dulu”

Aku mengangkat kedua tanganku kedepan bibir dan menirukan gaya Bapak merokok.

“Oh Bapak, Bapak merokok em… trus“ Tanya Mbak Sum sabar.

Aku menunjukkan luka kaki ku lalu menunjuk tanaman lidah buaya di depan rumah Mbak Sum.

“Ilalang? Lidah buaya? Em…. Wajah Mbak Sum masih penuh dengan tanda tanya.

Lantas aku menirukan gaya Bapak mengangkat beras.

“Bulog? Oya di belakang gedung Bulog memang banyak sekali ilalang” Mbak Sum masih bingung.

“Lantas? Bapak disana?” Alhamdulilah dia paham juga. Aku mengangguk, aku menirukan Bapak terbaring di tanah, dan batuk-batuk lantas terpejam.

“Hah…. Bapakmu pingsan , wah Nduk…. Pak...Bapak, iki lho… Bapak Rini sakit, dia neng Bulog, ayo lungo neng kono!” Teriak Mbak Sum panik sembari memanggil suaminya.

“Ono opo to, Bu?” tanya Mas Wongso kaget.

“Uwis pak, mbok lungo neng Bulog, Pak Bahar terbaring di Bulog, dia pingsan Pak” jelas Mbak Sum. Aku menarik lengan Mbak Sum.

Aku ingin mereka cepat, aku khawatir terjadi apa-apa dengan Bapak.

Sebenarnya Mas Wongso mau bertanya lagi, tetapi aku sudah duluan berlari keluar. Akhirnya mereka berdua menyusulku. Syukurlah jarak rumah dengan gedung Bulog ini tidak terlalu jauh. Ia tidak bergeming. Mbak Sum dan mas Wongso berhamburan disisi ku, mereka memapah Bapak, Bapak belum sadar. Oh… Ya Tuhan ku mohon bukalah matanya.

***

Ruangan ini bersih, tirainya putih membuat aku takut. Kain Putih sering digunakan Haji Zainudin untuk kafan mayat, tanpa bisa bertanya lebih jauh aku hanya bisa melihat dengan ngeri, membayangkan aku yang dikafan. Lantas di masukkan kedalam tanah. Tempat tidurnya juga beralaskan kain putih, serba putih, pastilah ruangan ini selalu bersih pikirku, dan aku tahu ini adalah rumahnya orang-orang sakit. Didepanku Bapak terbaring lemas, hidungnya dipasang selang, untuk membantu pernapasannya. Tangan kiri Bapak dipasang infuse.

Air mataku menggenang, ku buka kenangan indah keluarga yang penuh cinta. Dulu lama sekali sebelum Bunda memutuskan untuk pergi, mengadu nasib menjadi TKI di Malaysia. Bunda berjanji untuk kembali ke kota ini setelah aku menamatkan Sekolah Dasar, waktu itu aku masih duduk di kelas dua. Aku bersedih dengan keterbatasanku yang tak bisa bicara. Kata teman-teman aku ini bisu, tetapi aku masih bisa mendengar dan pendengaranku cukup tajam. Aku mudah berkonsentrasi, aku juga mampu membaca dan menulis dengan cepat, membaca selalu ku ulangi dan ku eja didalam hati. Aku yakin aku pasti bisa menjadi orang yang sukses, walau aku tidak sesempurna teman-temanku, namun aku kesulitan mengungkapkan isi hatiku, aku hanya bisa menulis kata–kata di atas kertas.

Aku pernah membaca di Malaysia ada sekolah untuk orang- orang seperti ku. Aku pikir aku pasti bisa kesana, dan menggapai cita. Aku ingin belajar bersama teman-temanku yang senasib dengan diriku, untuk itu aku harus berusaha keras, ketika pagi aku pergi ke sekolah, siangnya aku ke gudang Bulog, membersihkannya, kemudian mengambil beras-beras yang tersisa. Semuanya Kujalani dengan bahagia, hingga aku menamatkan SD, dan menunggu Bunda di depan gubuk kami, yang dijanjikan Bunda akan berganti dengan keramik. Aku memimpikan Bunda, Bunda pulang dan membawaku ke Malaysia, Bapak juga tersenyum karena telah berhasil membangun toko beras kecil-kecilan di depan rumah kami. Bunda dan aku pulang ke sini satu bulan sekali, aku sudah mampu menggunakan bahasa isyarat dengan sempurna dan bekerja di stasiun TV yang menayangkan seseorang menggunakan bahasa isyarat. Sehingga aku bisa berbagi dengan saudaraku yang bisu dan tidak bisa mendengar. Lalu kami sekeluarga menjadi keluarga yang bahagia. Aku tersenyum miris, mengenang mimpi itu, ya aku hanya bisa bermimpi. Seperti kata Bapak angin membawa kami kemanapun ia mau, sebenarnya bukan angin Bapak, tetapi nasib dan takdir kita yang membawa kita. Takdir yang membawa hati Bunda kepada orang lain.

Setelah 3 tahun di Malaysia Bunda mengirimi kami uang yang Bapak tabung. Bunda jarang kirim surat, sampai akhirnya angin membawa berita yang membuat Bapak terpuruk didalam kekecewaan yang mendalam. Bunda menikah dengan teman sekerjanya di perkebunan kelapa sawit. Mbak Sum teman sekerja Bunda bercerita dengan penuh kesedihan, ia sudah menganggap Bunda sebagai kakaknya sendiri, dan aku hanya bisa menagis. Sejak itu Mbak Sum memelukku hangat mengganggap aku sebagai anaknya, karena itu adalah pesan Bunda. Tanpa aku bisa bertanya kenapa Bunda berpaling, tak tahankah Bunda dengan angin yang membawanya kekanan dan kekiri? apakah Bunda jatuh dan terpuruk?

Aku berharap masih bisa di pertemukan dengan Bunda, dan bertanya padanya. Aku yakin Bunda tidak seperti yang orang lain bayangkan, aku kirimi ia surat, ia membalas, ia tulis betapa ia mencintaiku, aku menangis dan surat itu basah. Aku tulis lagi surat untuknya kutagih janjinya, dan kuceritakan mimpiku padanya. Bunda menulis, betapa ia pun ingin mewujudkannya, datanglah kesini tulisnya.

Betapa senangnya aku, aku akan melihat senyum Bapak lagi, hari ini juga, tadi siang aku ke gudang Bulog, aku ajak Bapak kepadang ilalang ini. Aku tunjukkan surat-surat itu padanya.

Bapak mencibir, bibir birunya membulat. Ia tidak mengizinkanku. Ia tidak percaya padaku, ia terlalu takut kepada angin, sampai ia menangis tersedu dan terpuruk. Ia malu dan mengatakan bahwa ia tidak berhasil menjadikan aku kuat, tidak Bapak aku kuat.

***

“Ananda…..” Bapak tersadar, aku terkejut.

Aku memeluknya, aku ingin mengatakan betapa aku mencintainya.

“Ananda pergilah…susul Bunda, tapi ananda harus janji tidak akan meninggalkan Bapak” Bapak berkata pelan. Matanya tetap terpejam.

“Ananda…. Berjanjilah untuk mengunjungi Bapak, berjanjilah untuk menjadi orang yang sukses, seperti impian Ananda…, Bapak yakin angin ini bisa dilalui ananda dengan kuat, karena sebenarnya Bapaklah yang lemah, Bapaklah yang terpuruk dan tidak mampu menahan Bunda untuk pergi ke kota itu, jika kini Ananda harus pergi, sungguh Ananda akan menemukan Bapak yang kuat, yang berhasil melawan angin kekecewaan Bapak yang terlalu berlebihan” kata Bapak. Matanya berair. Aku terisak.

“Rin…” suara itu. Aku berpaling ke asal suara. Aku mendapati seorang Ibu setengah baya yang tak asing lagi di mataku.

“Ini Bunda Rin…”Katanya lagi

Bun…bun…dha….

Air mata membasahi wajahku, aku memeluk Bunda, aku ingin bertanya Bunda mengapa bisa ada di sini, rasa ingin tahu ku selalu terlambat untuk dijawab. Kami berpelukan. Waktu 10 tahun adalah waktu yang cukup lama membendung rasa rinduku kepada Bunda. Bunda tersenyum padaku,

”Kamu manis ya Rin…seperti Bapak” bisik Bunda, di telinga kananku. Aku tersenyum. Bunda melepaskan pelukannya, Ia memegang tangan Bapak. Ia menangis.

“Maaf Bang…., aku mohon maaf atas kesalahan yang tak seharusnya terjadi” Bunda mencium tangan kanan Bapak. Bapak diam, matanya masih terpejam.

“Adek…adek…sangat mencintai mu Bang.” Kata Bunda lagi.

“Adek hanya …hanya…merindukan sosok dirimu disana, yang bisa menjaga dan melindungi adek” lirih Bunda. Aku terkejut, Kuusap air mataku. Ini tidak adil pikirku, Bunda menduakan Bapak. Sebenarnya Bunda tidak salah namun keadaan yang memaksa, Bunda adalah seorang wanita yang membutuhkan perlindungan, dan ditempat kerja bisa saja hal yang tidak diinginkan terjadi. Aku menggeleng keras, aku mengerang. Bunda tak memahami. Ia hanya menangis.

“Maafkan Bunda Rin…maaf…” Bunda berkata setengah berteriak. Mbak Sum masuk kedalam, ia menarik lengan Bunda.

“Mbak…sudahlah…” katanya

Aku terisak, ini tidak adil Mbak Sum, aku menatap bapak yang tak berdaya, aku mengerang-ngerang tak jelas. Aku tidak bisa mengungkapkan isi hati ku.

“Ananda…maafkan Bunda mu….dan maafkan juga Bapak…” Bapak berkata lagi, suaranya lemah dan hampir tak terdengar. Ia mengulanginya beberapa kali. Sampai suara itu tak terdengar, aku mengerang, Oh tolong… Ya Tuhan apa yang terjadi.

Bapak berhenti bernafas, Bunda menangis, Mbak Sum terisak, suster masuk, lalu keluar lagi dan datang kembali bersama seorang Dokter. Dokter memeriksa Bapak, suster melepaskan tabung oksigen. Dokter menemui Mbak sum, aku menunggu penuh tanda tanya.

“ Maaf kan kami, Bapak sudah berpulang kehadiratnya” katanya lirih.

Aku merasakan Bumi ini bergoncang, membawa kenangan manis bersama Bapak, mengubur mimpi yang ku bangun menindih tiap – tiap ruas kepalaku, Dunia terasa gelap, aku merasakan ada energi yang menariku ke bumi.

Brukk….

***

Tanah ini masih merah, aku duduk disampingnya menatap nisan yang ada di hadapanku.

BAHARUDIN, 56 tahun.

Bapak telah pergi, aku mengusap air mata yang membasahi pipiku.Bunda berdiri tak jauh dari ku. Ia berdiri disamping seorang pria. Mereka menatapku. Bukankah ini takdir, ini adalah rekayasa Sang Pencipta, Hatiku sangat sakit, ingin ku katakan aku membencimu Bunda, namun angin cinta yang kusimpan yang dititipkan Bapak kepadaku, berbisik “Maafkanlah Bunda ananda” ya aku harus memaafkan bunda. Bapak juga sudah memaafkan Bunda, diakhir hidupnya ia mengikhlaskannya, dan ia tidak terpuruk, malah bangkit dan mengajarkan aku apa arti dari sebuah kepercayaan dan keikhlasan.

Terima kasih Pak…aku akan mengunjungimu. Aku berjanji akan menggapai cita-cita ku.

Langit kota Arwana mendung, aku meninggalkan kota ini dan mengejar asa ku di kota Itu, kota yang ditakutkan Bapak,.

Selamat tinggal, aku akan kembali.

0 Comments:

Post a Comment